Catatan
Rabuan
Azrul
Ananda

Minggu malam lalu (22 September) benar-benar jadi malam happy bagi penggemar tontonan olahraga seperti saya. Sejak sore sampai dini hari, berturut-turut ada tontonan yang bisa saya nikmati.

Pukul 18.00 WIB ada MotoGP dari Aragon, Spanyol. Lalu pukul 19.00 ada balap Formula 1 dari Singapura. Setelah itu, berlanjut hari pertama UCI Road World Championships 2019 (kejuaraan dunia balap sepeda) dari Yorkshire, Inggris.

Setelah jeda sejenak, mulai tengah malam sampai pukul 03.00 dini hari ada pertandingan NFL antara tim favorit saya, Kansas City Chiefs, melawan tim kuat lain Baltimore Ravens. Menahan tidur sejenak, masih ada balapan IndyCar, seri penutup dari Sirkuit Laguna Seca, California.

Dari semuanya, yang tidak seru mungkin hanya MotoGP. Marc Marquez menang terlalu mudah. Setelah itu, ada berita baik untuk F1, yaitu Ferrari finish 1-2. Lalu ada persaingan unik di Yorkshire, Belanda menang team time trial mixed relay.

Saya kemudian bahagia, Kansas City Chiefs menang lagi dan mengawali musim 2019-2020 dengan rekor 3-0.

Yang IndyCar entahlah, saya ketiduran.

Oh ya, sore sampai malam itu, sebagai pendamping, saya juga memantau pertandingan seru liga SMA yang saya kelola, Honda DBL. Lewat aplikasi DBL Play, saya terus menengok livestreaming pertandingan Fantastic Four (semifinal) Honda DBL seri Jawa Timur dari DBL Arena Surabaya.

Wow, ada begitu banyak tontonan olahraga dalam waktu kurang dari 12 jam!

Streaming. Lagi-lagi kata itu membuat saya senang. Berkat streaming, sekarang kita bisa menonton apa saja yang kita inginkan. Tidak didikte oleh channel televisi. Tidak didikte oleh saluran kabel dan perusahaan kabel yang mana.

MotoGP dan Formula 1 termasuk mudah ditonton, karena ada di televisi biasa atau kabel. Nonton NFL (atau NBA) sekarang bukan lagi masalah, karena bisa men-download aplikasi masing-masing lalu berlangganan menonton semua pertandingannya di mana saja.

MotoGP sendiri sudah streaming balapan lewat situs resminya. Formula 1 masih mencoba membereskan berbagai urusan legal, tapi tanda-tandanya segera ke arah streaming pula (sudah ada aplikasi resmi F1 TV).

Balap sepeda? Baru beberapa tahun lalu, saya dan teman-teman penghobi sepeda bingung mau menonton lewat mana. Sekarang cuek bebek, ada streaming. Lomba-lomba kejuaraan dunia 2019 ini ditayangkan langsung setiap hari lewat channel YouTube resmi UCI. Ya, federasinya sendiri yang punya channel resmi.

Liga pelajar DBL? Hanya beberapa tahun lalu, beberapa sponsor selalu menanyakan saluran televisi mana akan membantu menayangkan. Sekarang? Termasuk bukan pertanyaan.

Streaming adalah solusi untuk banyak hal.

Saya ingat, kira-kira 2010, saat awal menjadi commissioner liga basket nasional NBL, saya dan teman-teman di DBL Indonesia mencoba menjadi pionir. Pertandingan-pertandingan profesional itu akan ditayangkan via streaming. Cukup sedikit membayar, bisa menonton.

Teknologi waktu itu belumlah ideal. Kualitas dan lain-lain masih sangat “pemula.” Tapi, kami sudah mencobanya.

Waktu itu, kalau sebuah olahraga tidak populer, harus mengeluarkan uang banyak untuk masuk saluran televisi. Jamnya tidak pernah ideal, hitungannya tidak pernah ideal.

Waktu itu, saya memilih meminimalisasi tayangan televisi, mengalokasikan dananya untuk memperbaiki kualitas “show” liga untuk penggemar utamanya: Penonton di stadion.

Kalau tidak bisa ke stadion, kami siapkan streaming.

Entah itu berhasil atau tidak. Yang jelas, penonton NBL Indonesia selalu tumbuh dari tahun ke tahun. Kualitas pertandingan juga berkembang pesat. Padahal tidak ada pemain asing, sangat minim tayangan televisi. Sponsor liga bertambah, sponsor tim bertambah.

Sekarang, streaming sudah jadi menu utama.

Bagi penyelenggara event, apalagi yang punya konten kuat, streaming adalah opsi utama. Intinya, kalau harus membayar untuk masuk televisi, lebih baik di-streaming sendiri saja.

Bagi liga atau event yang selama ini dimanjakan oleh uang hak siar, streaming tetap mulai dibina sebagai “Plan B.” Dan orang sudah mulai dibiasakan untuk membayar kalau ingin menonton.

Saya membayar sekitar Rp 1,5 juta semusim untuk menonton NFL. Kira-kira sama untuk NBA. Jumlah pertandingannya masing-masing ratusan (bahkan ribuan). Jadi biaya per pertandingannya sebenarnya relatif tidak berat. Kalau mau lebih murah, ada paket-paket berbeda.

MotoGP sudah meminta kita membayar kalau mau nonton streaming balapannya lewat komputer atau ponsel. Formula 1 saya yakin nantinya akan sama, ketika sudah mulai sulit mengembangkan pemasukan dari hak siar.

Sementara untuk event-event atau ajang-ajang yang “lebih kecil,” streaming sudah menjadi strategi untuk mendapatkan eksposure lebih.

Agustus lalu, ada balapan sepeda perempuan terbesar di Amerika, berlangsung di Colorado. Namanya Colorado Classic. Kebetulan, perusahaan sepeda saya, Wdnsdy, ikut mensponsori salah satu tim yang tampil di sana selama dua tahun terakhir.

Balapan itu punya strategi luar biasa. Sadar tidak bisa dapat uang dari hak siar, mereka membuat sistem “open streaming.” Maksudnya, mereka memproduksi tayangan lomba, lalu membuka haknya secara gratis untuk ditayangkan oleh siapa saja.

Untuk warga Colorado, tayangan itu ditayangkan stasiun televisi lokal. Untuk yang tinggal di luar negeri, ada sejumlah channel yang ikut menayangkannya secara live. Termasuk saluran YouTube sepeda yang kini paling populer: Global Cycling Network alias GCN.

Voila! Lomba itu pun mendapatkan perhatian global.

Saya pun bisa melihat sepeda Wdnsdy saya beraksi di Colorado secara langsung dari rumah di Surabaya.

Lewat liga pelajar DBL, saya dan teman-teman DBL Indonesia juga ingin memaksimalkan era streaming ini. Tahun ini, kami fokus ke tayangan sendiri ini. Tahun ini, ratusan pertandingan kami tayangkan secara livestreaming dari Aceh sampai Papua.

Bahkan, pada 3 Agustus lalu, dalam sehari ada 16 pertandingan yang kami tayangkan dari enam kota yang berbeda! Yaitu dari Padang, Bekasi, Cirebon, Banjarbaru, Samarinda, dan Kupang! Lengkap dengan multi-kamera dan komentator. Menurut saya ini adalah rekor tayangan simultan di Indonesia.

Semua cukup lewat aplikasi yang kami kembangkan sendiri: DBL Play. Aplikasi yang sempat trending di App Store. Yang di-download hampir 100 ribu orang dalam waktu sekitar sebulan.

Pada 2010 lalu, saat kami mencoba strategi ini, mungkin masih terlalu dini. Teknologinya belum mumpuni, tradisinya belum terbentuk.

Sekarang, streaming sudah menjadi kebutuhan. Apalagi untuk penikmat konten khas dan kuat seperti DBL kami. Kami begitu takjub, sebuah pertandingan SMA, yang notabene kualitasnya jauh di bawah profesional, bisa mendapatkan 61 ribu view lebih.

Total view dari livestream yang telah dilakukan DBL musim 2019 ini mencapai setengah juta lebih. Tak menutup kemungkinan angka itu bisa bergerak ke arah satu juta view. Sebab kompetisi DBL sendiri masih panjang. Dan kalau ini terus dibina, serta kualitas liganya terus berkembang, angka ini akan terus bertambah.

Tapi, bagi saya, yang paling penting adalah sekarang semua bisa “berbagi.” Anak basket di Aceh bisa menikmati (dan belajar) dari menonton pertandingan anak basket di Papua. Anak Jakarta bisa menikmati dan (dan belajar) dari menonton pertandingan anak basket di Jogjakarta.

Tak sampai sepuluh tahun lalu, saluran televisi biasa mendikte apa yang bisa kita tonton bersama. Sekarang, dan ke depan, lewat streaming semua orang yang seminat bisa saling berbagi dan menginspirasi!

Happy era streaming! (azrul ananda)

Comments (25)

Catatan Rabuan

Obrigado Ayrton Senna, 25 Tahun Kemudian

Tepat 1 Mei, 25 tahun lalu, salah satu peristiwa terbesar dalam hidup saya terjadi. Peristiwa yang sampai hari ini masih...

15 Tahun Tetap Tanpa Ujung

Tulisan ini seharusnya sudah keluar beberapa hari lalu. Karena pada 4 Juli lalu, ada ulang tahun yang sangat penting. Te...

Sepatu Merdeka

Waktu masih kecil, keluarga saya belum punya banyak uang. Saat SD, ibu saya hanya mau membelikan sepatu harga di bawah R...

Sepeda Rp 500 Juta

"Ngapunten, mau tanya. Sepeda kayak gini seharga 489 juta. Masuk akal tidak ya?".