Di usia kemerdekaannya yang ke-80 tahun, Indonesia tahun ini merayakan Hari Olahraga Nasional atau Haornas ke-42 tahun. Tahun ini, Haornas mengangkat tema “Olahraga Satukan Kita”.
Kementerian Pemuda dan Olahraga sebagai leading sektor secara terang-terangan menyebut tema ini diangkat karena kondisi sosial politik bangsa belakangan ini. Tentu hal tersebut mengarah pada terjadinya gejolak sosial di masyarakat yang terjadi lewat demonstrasi di berbagai daerah, yang puncaknya terjadi akhir Agustus lalu.
Melalui tema ini pemerintah berharap olahraga bukan sekadar sarana meraih prestasi, tetapi juga wahana untuk memperkokoh persatuan bangsa.
“Olahraga mengajarkan kita sportivitas, menghormati lawan, dan menerima hasil dengan lapang dada. Nilai-nilai ini adalah teladan yang bisa kita terapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,” kata Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Ario Bimo Nandito Ariotedjo dalam sambutannya yang ada di situs dokumen pedoman pelaksanaan Haornas 2025.
Menurut Dito -sapaan akrab Ario Bimo Nandito Ariotedjo- dalam olahraga, kemenangan terbesar bukan hanya saat kita mengangkat piala, melainkan ketika kita mampu saling menghargai, saling mendukung, dan memandang perbedaan sebagai kekuatan untuk bersatu.
Sebagai perusahaan sports management, DBL Indonesia bisa disebut sebagai salah satu stakeholder yang wajib mendukung semangat pemerintah dalam Haornas. Tema Haornas “Olahraga Satukan Kita” sebenarnya sudah dijalankan DBL Indonesia melalui kompetisi basketnya yang konsisten digelar sejak 2004 silam (21 tahun).
Harapan Menpora agar olahraga mengajarkan kita sportivitas, menghormati lawan, dan menerima hasil dengan lapang dada selama ini berjalan puluhan tahun di kompetisi basket DBL. Semangat sportivitas itu ditanamkan lewat aturan yang dipegang teguh dan konsisten sejak kompetisi ini pertama kali digelar.
Bentuk konkretnya banyak. Dari sisi teknis pertandingan misalnya. DBL Indonesia termasuk yang mengawali penerapan sistem respect the game. Sistem ini diadopsi DBL sejak 2016 silam.
Respect the game merupakan sebuah sistem pertandingan, di mana tim yang unggul 20 poin wajib melakukan lini bertahan di dalam dan tidak melewati garis tengah lapangan (half court). Sehingga, tim yang tertinggal mempunyai kesempatan untuk mengejar poin.
“Aturan itu diberlakukan agar student athlete (atlet pelajar) bisa mengembangkan permainan mereka. Tidak hanya itu, respect the game juga digunakan untuk menumbuhkan daya juang student athlete ketika berada di lapangan,” kata Astrid Septiana Putri, Senior Manager Event DBL Indonesia.
Respect the game juga tidak hanya berdampak pada permainan, tapi juga berdampak pada faktor psikologis sebuah tim. Di mana tim yang unggul akan mengevaluasi lini bertahan mereka. Sedangkan tim yang tertinggal bisa mencari formula yang tepat untuk lini penyerangan mereka. Sehingga tidak jarang dalam sebuah pertandingan DBL, tim yang tertinggal bisa kembali mengejar poin dengan adanya aturan respect the game ini.
Dari sisi para pemain, aturan DBL yang mengajarkan pada sportivitas juga ditanamkan dengan mewajibkan tim pemenang menghormati lawannya yang kalah. Tim yang menang -setelah melakukan euforia sejenak- akan diarahkan untuk mendatangi bench tim lawannya. Di sana mereka diwajibkan memberi penghormatan sekaligus bersalaman. Pun demikian kedua tim yang bermain juga wajib saling memberi penghormatan pada suporter yang mendukung dari tribun.
Dari sisi suporter juga ada aturan mainnya terkait sportivitas. Sudah barang tentu suporter di DBL dilarang keras melakukan tindakan-tindakan yang tak sportif. Misalnya meneriakan dukungan yang mengarah pada provokatif, kasar, rasis, bullying dan tindakan negatif lainnya.
Tapi yang dilakukan DBL lebih dari itu. Di DBL, di akhir laga, setiap suporter diberi kesempatan untuk menyanyikan anthem sekolahnya bersama tim basket dan tim dance yang ada di lapangan. Nah, ketika menyanyikan anthem inilah suporter kedua tim wajib saling menghormati. Yang tidak sedang bernyanyi diwajibkan diam sebagai bentuk penghormatan untuk lawannya yang nyanyi.
Teguran hingga sanksi keras diterapkan jika aturan-aturan di atas tidak dijalankan. Salah satu sanksi keras yang diterapkan adalah skorsing untuk tim basket sekolah yang suporternya melanggar aturan sportivitas. Begitu besarnya value yang didapatkan tim basket sekolah ketika mengikuti DBL membuat sanksi tegas itu sangat dihindari oleh para peserta.
Tapi yang diterapkan di DBL bukan hanya punishment untuk mereka yang melanggar aturan. DBL juga memberikan apresiasi lewat reward bagi suporter sekolah yang dianggap sportif dan kreatif. Penghargaan ini dikemas begitu bermakna sehingga tiap suporter sekolah mengejar reward itu untuk sebuah kebanggaan Program penghargaan untuk suporter ini konsisten digelar sejak 2008. Setiap tahunnya, DBL memberi penghargaan untuk suporter antara lain Best Chant, Best Choreo, Best Coordinator Supporter, Supporter Award (juara 1,2, dan 3) serta Most Discipline Supporter.
Melalui Haornas 2025 ini Menpora juga menyampaikan lima langkah nyata pembangunan olahraga di Indonesia. Dari lima langkah nyata itu, tiga di antaranya penekanannya pada pemerintah daerah (pemda). Sedangkan dua lainnya sifatnya kolaborasi antara pemerintah, swasta, media, akademisi, komunitas, dan masyarakat luas.
Lima langkah nyata itu yang pertama adalah pemda harus mewujudkan pembudayaan olahraga sejak dini. Hal itu dilakukan dengan memperkuat olahraga pendidikan, memastikan setiap sekolah memiliki fasilitas dasar olahraga, serta memberikan ruang bagi anak-anak untuk bermain, berlari, dan berolahraga secara aman.
Yang kedua, pemda wajib memperluas akses masyarakat terhadap ruang olahraga publik. Taman olahraga, lapangan serbaguna, jalur lari, dan fasilitas kebugaran terbuka harus tersedia di setiap kabupaten/kota. Menpora berharap pemda bisa mewujudkan minimal satu ruang olahraga publik di setiap kecamatan, sehingga olahraga benar-benar menjadi milik semua lapisan masyarakat.
Ketiga, Menpora berharap adanya penguatan pembinaan prestasi atlet dengan dukungan sport science. Latihan yang terukur, program yang sistematis, dan pembinaan berbasis ilmu pengetahuan akan melahirkan atlet-atlet berprestasi dunia.
Langkah ketiga itu memang terlihat sebagai tanggung jawab pemerintah. Namun di kompetisi DBL hal itu sudah dilakukan oleh panitia sekaligus secara mandiri dilakukan oleh sekolah.
Di kompetisi DBL selama ini ada dukungan sport science untuk para peserta. Misalnya adanya tes pengukuran fisik untuk memantau perkembangan student athlete, yang mencakup tinggi badan, berat badan, rentang lengan (arm span), dan lompatan vertikal (vertical jump).
Sejumlah sekolah peserta DBL -yang tertantang menjadi yang terbaik- juga melakukannya secara mandiri. Biasanya mereka bekerja sama dengan kampus yang punya pendidikan olahraga atau pihak swasta. Kerja sama dilakukan dengan menyiapkan program-program untuk memantau dan mengembangkan kemampuan fisik anak asuhnya.
Nah, langkah konkret keempat yang diharapkan pemerintah adalah perlunya mendorong pertumbuhan sport industry dan sport tourism. Olahraga dapat menjadi motor penggerak ekonomi lokal. Menpora ingin event olahraga daerah bukan hanya ajang kompetisi, tetapi juga kesempatan untuk membangkitkan pariwisata, UMKM, dan lapangan kerja.
Meskipun sekadar kompetisi basket amatir tingkat SMA, tapi kegiatan DBL Indonesia sudah mengarah pada sport industry berskala nasional. Bagaimana tidak, ratusan UMKM dan lapangan kerja hadir saat kompetisi DBL digelar di 31 kota dan 22 provinsi di Indonesia.
Data menunjukkan di setiap penyelenggaraan DBL di kota-kota, rata-rata melibatkan 35 kru terlibat. Jika dikalikan jumlah kota penyelenggaraan (31 kota) setidaknya butuh lebih dari 1.000 sumber daya manusia (SDM) per tahunnya. Mayoritas mereka merupakan anak-anak muda dari kota tersebut dengan status freelance project.
Angka tersebut belum termasuk keterlibatan pihak swasta lainnya yang berstatus vendor. Ada banyak vendor yang terlibat dalam kompetisi DBL di setiap kotanya. Ada vendor konsumsi, kebersihan, keamanan, kesehatan, dan bongkar pasang branding. Itu belum termasuk keterlibatan tenaga profesional yang berkaitan dengan pertandingan. Misalnya wasit, petugas pertandingan dan statistik.
Terakhir, langkah konkret kelima adalah pemerintah berharap adanya kolaborasi lintas sektor dalam pembangunan olahraga. Sebab pembangunan olahraga bukan hanya tanggung jawab Kemenpora atau Pemda, melainkan kerja bersama seluruh elemen bangsa: pemerintah, swasta, media, akademisi, komunitas, dan masyarakat luas. Semua harus bersatu padu untuk menjadikan olahraga sebagai gerakan nasional. Dan, alhamdulillah DBL Indonesia sudah melakukannya. Selamat merayakan Haornas.(*)