ESG

DBL ACADEMY

JR DBL

MAINBASKET

SAC

HAPPY
WEDNESDAY

DISWAY

MAINSEPEDA

Seremoni sederhana membuka DBL 2004 di GOR Kampus C Universitas Airlangga Surabaya.

* Satu Kaus Dipakai 16 Hari

Jarang sekali ada sesuatu yang lahir langsung istimewa. Kebanyakan harus dimulai dari kecil dulu, lalu berkembang, dan melalui masa-masa menyakitkan. Developmental Basketball League (DBL) -- nama orisinalnya DetEksi Basketball League -- dulu juga kecil dan sederhana sekali.

Belum pernah ada program basket sedahsyat DBL di Indonesia. Honda DBL 2009 ini misalnya. Diikuti oleh lebih dari 800 tim, melibatkan lebih dari 20 ribu peserta.

Bukan hanya meluas secara nasional, juga berkolaborasi dengan pihak-pihak internasional. Termasuk menjadi liga pertama di Indonesia yang bekerja sama dengan liga paling bergengsi di dunia, National Basketball Associaton (NBA) dari Amerika Serikat.

Semua itu dicapai tidak secara instan. Prosesnya yang panjang, melelah- kan, dan kadang menyakitkan. Memakan waktu lebih dari lima tahun.

“Kali pertama diselenggarakan di Surabaya pada 2004, tidak ada niatan untuk membuat DBL menjadi sebesar ini. Waktu itu, niatannya hanya menyelenggarakan kompetisi basket SMA yang tertata rapi, menerapkan konsep student athlete,” kenang Azrul Ananda, commissioner DBL.

Nama “DetEksi” dalam DBL diambil dari nama rubrik DetEksi di Jawa Pos. Lembaran khusus untuk anak muda yang terbit setiap hari di harian tersebut sejak 2000. Memang, DBL mulanya adalah alat supaya anak muda Surabaya dan sekitarnya berinteraksi dengan Jawa Pos. Namun, DBL langsung meledak sejak tahun pertama itu.

Semula, panitia hanya menargetkan 40 sampai 50 peserta. Karena itu, panitia hanya mem-booking satu gedung (GOR Kampus C Universitas Airlangga) selama 15 hari. Lalu mem-booking GOR Kertajaya Surabaya untuk babak finalnya. Total ada 16 hari pertandingan. Tanggal tepatnya 17 Juli sampai 7 Agustus 2004.

Ternyata, yang mendaftar sampai 101 tim. Supaya hitungan pas sesuai jadwal dan pola pertandingan, panitia lantas mengerucutkannya lagi menjadi 96 tim. Pada akhirnya menjadi 95 tim, karena ada tim yang mengundurkan diri setelah technical meeting.

Sejak 2004 itu, DBL di Jatim menggunakan format ala Piala Dunia. Tim-tim mengikuti undian, tergabung dalam sejumlah grup. Masing-masing grup terdiri atas empat tim. Sehingga masing-masing tim minimal bisa bertanding tiga kali.

Setiap juara grup lantas lolos ke babak playoff, yang menggunakan sistem gugur sampai menentukan juara. Format ini menuntut banyak pertandingan. Mau tak mau, panitia DBL harus mencari lagi satu gedung tambahan. Itu pun setiap gedung menyelenggarakan sampai delapan pertandingan sehari (total 16 pertandingan sehari).

Apes, GOR Bumimoro dan GOR Hayam Wuruk tidak bisa dipakai berturut-turut. Jadi, ada panitia DBL yang harus “nomaden.” Hari ini di Bumimoro, besok di Hayam Wuruk, besoknya lagi di Bumimoro, besoknya lagi kembali ke Hayam Wuruk. Begitu terus selama berhari-hari.

“Kami jadi seperti tim SWAT. Kerja keras dan dipaksa efisien. Sebab, setiap kali pindah gedung, kami harus menata ulang lapangan dan branding di sekeliling gedung,” kenang Masany Audri, general manager DBL Indonesia.

“Padahal, GOR Bumimoro itu ada di Surabaya Utara, sedangkan Hayam Wuruk masuk Surabaya Barat. Setiap hari kami harus membongkar stadion sampai larut malam, lalu datang lagi pagi-pagi untuk menata gedung berikutnya,” tambah Masany.

Bukan hanya kerja keras, perlengkapan DBL pada 2004 juga minimalis. Panitia hanya punya 15 buah bola, harus dipakai sampai selesai.

Praktis berjalan tanpa sponsor, masing-masing kru hanya punya satu kaus panitia. Warnanya putih, dengan aksen biru di bagian leher dan lengan. Di bagian depan ada logo pertama DBL. Kotak biru oranye bergambarkan Si Det (anjing maskot DetEksi Jawa Pos) sedang men-dribble bola.

“Satu kaus itu kami pakai praktis setiap hari. Kadang malam cuci pagi pakai, kadang tidak dicuci. Ha ha ha,” cerita Puji Agus Santoso, manager basketball operation DBL Indonesia yang pada 2004 bertugas sebagai koordinator keamanan. “Jauh sekali dengan sekarang. Kalau sekarang kami sudah lebih profesional. Ada jas, kemeja, polo shirt, dan seragam lain yang dipakai bergantian,” tuturnya.

Azrul Ananda mengaku bersyukur, sambutan penonton dari awal langsung dahsyat. Pemasukan dari penonton itu membantu penyelenggaraan, menjadi modal positif untuk tahun-tahun selanjutnya.

“DBL ini diselamatkan oleh penonton. Dan dari awal kami memang mengharuskan penonton membayar. Sebab, dari awal kami sadar bahwa pemasukan tiketlah yang kelak menjadi penopang liga ini,” jelasnya. 

Panitia bisa berusaha, tapi seru atau tidaknya kompetisi tetap bergantung pada pertandingan di lapangan. Lagi-lagi DBL beruntung. Kompetisi tahun pertama itu sangat kompetitif. Ketika memasuki babak playoff, pertandingan-pertandingannya sangat seru.

“Peraturan kami yang ketat soal student athlete membuat persaingan lebih merata. Sebelumnya, tidak ada aturan jelas soal pertandingan SMA. Bahkan, pemain-pemain kelas profesional masih diizinkan bertanding,” kata Azrul.

Pertandingan penutup, final putra antara SMAN 2 Surabaya melawan SMA Petra 4 Sidoarjo, merupakan yang paling seru. Tertinggal tiga angka di detik-detik terakhir, Dewi Fortuna menyapa SMAN 2. Tembakan tiga angka Prana Duta berhasil menyelamatkan tim itu. Tembakan itu menyamakan kedudukan, memaksa terjadinya overtime (perpanjangan waktu).

Ribuan penonton yang semula sudah akan meninggalkan lapangan, langsung buru-buru berebut balik ke atas tribun. Di babak ekstra itu, SMAN 2 pun meraih kemenangan dramatis. Pertandingan itu, dan tembakan jarak jauh Prana Duta Caraka, sampai sekarang banyak dikenang oleh penggemar DBL.

Azrul Ananda mengatakan, tidak ada penulis skenario film yang bisa membuat kisah lebih dramatis dari final pertama DBL tersebut. “Kami benar-benar mendapat berkah. Tahun pertama kami benar-benar menjadi tahun yang tak terlupakan,” tandasnya.

Pada Final Party 2004 itu, lebih dari 5.000 penonton bergantian memadati GOR Kertajaya, yang berkapasitas tak sampai 3.000 orang. Setelah final putri antara SMA YPPI 2 melawan SMA Petra 2 Surabaya (dimenangkan YPPI 2), hampir semua suporter kedua sekolah itu diminta (dengan baik-baik) untuk pulang. Mereka diminta untuk memberi tempat bagi pendukung SMAN 2 Surabaya dan SMA Petra 4 Sidoarjo.

Menurut Ridwan Prajogo, waktu itu ketua harian Pengprov Perbasi Jatim, penonton final DBL 2004 ini merupakan yang terheboh dalam 25 tahun terakhir. “Memecahkan rekor PON Jatim tahun 2000,” ucap pria yang dianggap sebagai “kakeknya” DBL tersebut. Pengalaman 2004 itu seperti “latihan paksa.” Hanya dalam tiga pekan, panitia dipaksa belajar membuat kompetisi dengan peserta begitu banyak, dengan penonton begitu heboh.

Pengalaman itu ternyata sangat penting. Sebab, peserta DBL 2005 langsung melonjak lebih dari dua kali lipat. Tidak tanggung-tanggung, 205 tim mendaftar untuk DBL 2005. Saat itu, panitia sebenarnya sudah mengantisipasi jumlah peserta yang melonjak. Apalagi, panitia juga membuka kompetisi tambahan untuk tingkat SMP (sekarang disebut DBL Junior).

Dua gedung sudah disiapkan, jadwal sudah dipanjangkan. Hanya saja, panitia belum siap menampung lebih dari 200 tim. “Bayangan kami waktu itu pesertanya di angka 150 sampai 170-an,” ungkap Azrul Ananda. Spontan, panitia pun menyelenggarakan babak kualifikasi, atau yang dikenal dengan sebutan “Pra-DBL”.

Sejak 2005, kompetisi ini di Jatim selalu dilengkapi dengan babak kualifikasi. Di babak itu, sejumlah tim saling menggugurkan untuk dapat tiket masuk ke babak utama. Semenjak 2005, format DBL tidak banyak berubah sampai sekarang.

“Segala fondasi sudah kami bangun pada dua tahun pertama itu. Masalah-masalah terbesar juga sudah kami hadapi pada dua tahun pertama itu. Sejak 2006 dan selanjutnya, kami tinggal melakukan perubahan-perubahan tambahan untuk menjadikan kompetisi ini lebih profesional,” jelas Azrul.

Tahun 2007 adalah tahun terakhir DBL berlangsung sebagai kompetisi regional di Jatim. Pada tahun itu, 220 tim SMP dan SMA tampil sebagai peserta. Sudah layak disebut sebagai kompetisi basket pelajar terbesar di Indonesia.

Tapi, mulai 2008, DBL memasuki babak baru. Segala pelajaran yang didapat selama empat tahun di Surabaya dijadikan modal untuk mengembangkan konsep student athlete ke daerah-daerah lain di Indonesia. (*)

 

  RELATED ARTICLES
Comments (0)
PRESENTED BY
OFFICIAL PARTNERS
OFFICIAL SUPPLIER
SUPPORTING PARTNERS
MANAGED BY